"Pasir Putih Mendesah"
Masih teringat jelas. Guratan senyum di wajah tampan Risman.
Tutur kata yang menyejukan hati. Sendau gurau yang menyenangkan. Kecupan manis
yang menggelora. Senja dikala itu, Risman mengajakku ke pantai yang tak
berpenghuni, hanya 2 manusia, aku dan Risman. Langit penuh biru dan awan penuh
putih. Burung-burung Elang terbang tinggi lalu bertengger di puncak karang
berusia ratusan tahun. Nyiur daun kelapa melambai bersama tiupan angin. Ombak-ombak
bergulung berlari kecil membasahi sepasang kaki milkiku dan Risman. Risman
melihat satu buah kelapa jatuh dari induknya. Segera kami pun menghampirinya.
Dengan sekuat tenaga dalam Risman membuka kelopak buah itu dan berdua kami
meminumnya di atas hamparan butir-butir pasir.
Di atas pasir-pasir itulah, kami jua menghabisi air kelapa
itu. Kemudian bola mata Risman yang teduh menatap tajam ke arah mataku menusuk
jantung. Seakan-akan matanya berbicara,”Bercintalah terus denganku,” dan ia
berkata,”Tara , kau adalah wanita istimewa dalam hidupku, Maukah kau menyimpan
kisah cinta kita selalu dalam sudut hatimu terbingkai rapi dan teristimewa?”.
Achh, pertanyaannya bagai badai yang menimpa tubuhku. Bagaimana mungkin aku
tidak mau, Risman telah menjadi keindahan dalam hidupku. “Tak perlu kau
tanyakan lagi, kekasihku, RIsman. Sudah tentu aku mau, aku akan menjaganya dan
akan terus kusirami bunga-bunga yang telah kita rangkai di taman kita,”
jawabku.
“Terima kasih wanitaku. Ingat, kemana pun aku berlayar kau
akan selalu bertumpu di hatiku,” ujar Risman dengan tangan kanannya menyentuh
dadanya. Aku terkesima mendengar ucapan Risman yang menimbulkan pertanyaan
berdenyut bagiku.
“Berlayar? Apakah kau akan berlayar meninggalkan aku
sendiri?”, tanyaku resah.
“Aku tidak akan kemana-mana Tara, janganlah kau risau, aku
selalu ada untukmu di sini,” ucapnya sambil memindahkan tangan kanannya tadi
menyentuh tepat di hatiku.
“Tara, sebelum ada lelaki lain yang terpikat padamu. Aku
ingin kau menjadi wanitaku yang sah,” tutur Risman.
“Achhh..”, aku mendesah dalam hati. Tak hanya aku, tapi
semua wujud di pantai ini. Entah angin, ombak, awan, langit, Burung Elang,
pohon kelapa, karang, pasir dan semua bak serentak mendesah. Dan paling
bergetar tinggi desahannya kurasakan adalah pasir-pasir yang kutapak ini.
“Aku ingin kita mempunyai dua anak yang lucu-lucu. Satu
laki-laki dan satu perempuan. Sepasang!,” ucap Risman melanjutkan kalimatnya.
“Hanya dua? Mengapa tidak tiga?” tanyaku.
“Aku tak tahu mengapa. Aku hanya suka angka genap. Mungkin
aku lahir di angka genap, tanggal 26, bulan enam, tahun tujuh puluh empat.
Genap semua, bukan? Dan semoga aku mati nanti di angka genap juga.
“Hemm, genap. Ada apa dengan suatu angka genap sampai kau
pun memilih tidur dalam angka genap, Risman?” tanyaku aneh.
“Aku hanya suka, itu saja. Tak usahlah kau hiraukan ucapanku
tadi,” jawab Risman berusaha menganti topik.
“Tara, aku beri kau dua pilihan. Pertama, rumah pedesaan
berhalaman luas yang dikelilingi padang sawah dan udara sejuk yang berasal dari
pegunungan di belakang rumah. Atau kedua, rumah di tepi pantai yang
selalu diiringi deruan ombak dan sepoian angin yang mendesis. Di sanapun kau
akan bermandikan sinar matahari dan kita berdua bisa puas memandang ia terbit
dan ia terbenam. Kau akan pilih yang mana?”.
“Karena aku suka pasir putih di tepi pantai, aku pilih rumah
yang nomor dua,” jawabku.
“Aku tahu mengapa kau suka pasir putih. Karena kau suka
menganggap mereka bisa kau ajak mendesah bersama,kan?” goda Risman.
Aku lansung tertawa kecil mendengarnya.
“Tara, apakah kau siap bila kuajak ke penghulu esok hari,
lusa, bulan depan, pokoknya dalam waktu dekat ini?” Tanya Risman mantap.
“Aku siap, Rismansyah!”. “Achhh.., finally!”, ku mendesah
pelan. Pelan sekali.
* * *
Aku kembali menatap luas lautan yang tak berujung di tepi
pantai ini. Semua masih tampak sama. Ada lambaian daun pohon kelapa. Angin
mendesis. Langit penuh biru dan awan penuh putih. Burung-burung Elang yang
selalu bertengger di karang besar itu. Dan hamparan pasir yang masih putih
berkilau. Enam tahun yang lalu, pantai ini masih sunyi senyap, kini sudah
berpenghuni kumpulan cottage. Sudah enam tahun jua. Aku tidak ke pantai
ini. Hari ini, hari sabtu, tanggal 26, bulan Desember, tahun 2009 dan aku
meneteskan air mata kembali. Aku teringat satu kata dari Risman“Berlayar” ,
ya Risman memang berlayar ke ranah Aceh untuk mengunjungi sanak-keluarganya.
Aku berharap Risman bahagia karena dia Berlayar MenujuNya di saat
ombak Tsunami menelan Risman dan semua keluarganya saat 26 Desember 2004. Di
angka yang genap sesuai dengan keinginan Risman, walau ku tahu bukan Tsunami
yang Risman inginkan. Tapi itulah garis takdir. Kita manusia hanya berkehendak,
tapi Tuhan lebih berkuasa menentukan. Dan kita tak pernah mampu membaca apa
yang nanti akan tersirat OlehNya. “Aku tersenyum mengenangmu, Risman!”.
“Achhh..,” desah pasir putih yang mengejutkanku.
“Hai, wanita isitmewanya Risman. Aku selalu suka tipe wanita
sepertimu. Kau seperti sahabatku Sang Karang bertubuh tinggi besar di sebelah
sana. Ia selalu kokoh berdiri. Biar pun ombak laut keras menghajarnya.
Biar pun badai alam kencang menerjangnya. Biar pun terik panas matahari yang
sengit. Biar pun dinginnya malam menyelimutkan beku. Ia tetap berdiri tidak
runtuh, kecuali saat takdir meruntuhkannya dan ia tak pernah menolak takdirnya.
Ia serupa dengan kau, yang selalu menerima takdirmu ikhlas. Dan satu lagi, aku
suka kedua bola mata bocah lelaki itu. Mirip sekali dengan mata milik Risman.
Siapakah namanya gerangan?” kata pasir putih.
“OH iya, aku belum memperkenalkannya padamu,” sahutku.
“Rismannnn….kemari nak. Jangan jauh-jauh dari bunda. Main di
sini aja, yuk!” seruku memanggilnya.
“Bagaimana kalau kita menyusun pasir-pasir ini menjadi
sebuah Istana?” tanyaku mengajak.
Bocah itupun langsung menyentuh hamparan pasir putih.
“Achhhh..Pintarnya buah hatiku,” ku mendesah.
“Achhhh..Betapa senangnya aku bermain bersama dengan kedua
orang istimewanya Risman,” ujar Pasir putih sambil mendesah.
“Achhhhh…!”, mereka pun mendesah bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar